7 Kunci Kebahagiaan
Diposting oleh
Unknown
| Minggu, 27 Mei 2012 at 08.42
0
komentar
Labels :
Artikel
Ibnu Abbas ra. adalah salah seorang
sahabat Nabi SAW yang terkenal dengan julukan Turjumaanul qur’an ( orang
yang paling ahli dalam menerjemahkan Al Qur’an ) dan sangat telaten
dalam menjaga dan melayani Rasulullah SAW, dimana ia pernah secara
khusus didoakan Rasulullah SAW, maka pada usia 9 tahun Ibnu Abbas telah
hafal Al-Quran dan telah menjadi imam di mesjid. Suatu hari ia ditanya
oleh para Tabi’in (generasi sesudah para Sahabat) mengenai apa yang
dimaksud dengan kebahagiaan dunia. Ibnu Abbas menjawab bahwa ada 7
(tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu :
Pertama, Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur.
Memiliki
jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), sehingga
tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi
hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah
cerdas memahami sifat-sifat Allah SWT, sehingga apapun yang diberikan
Allah ia malah terpesona dengan pemberian dan keputusan Allah. Bila
sedang menghadapi kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah SAW
yaitu : “Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit
dari kita”. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan
memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan
kemudahan yang lebih besar lagi. Bila ia tetap “bandel” dengan terus
bersyukur maka Allah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih
besar lagi. Maka berbahagialah orang yang pandai bersyukur!
Kedua. Al azwaju Ash shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh.
Pasangan
hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang
sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga)
akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada
kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami
yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan
anaknya menjadi muslim yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang
sholehan, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam
melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya. Maka
berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki seorang istri yang
sholehan.
Ketiga, al auladu al abrar, yaitu anak yang baik.
Saat
Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak
muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW
bertanya kepada anak muda itu : “Kenapa pundakmu itu ?” Jawab anak
muda itu : “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu
yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah
melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat,
ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu
menggendongnya”. Lalu anak muda itu bertanya: ” Ya Rasulullah, apakah
aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua
?” Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: “Sungguh Allah
ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku
ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. Dari
hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata
tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun
minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa
anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah.
Berbahagialah kita bila memiliki anak yang sholeh.
Keempat, albaitatush sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita.
Yang
dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenal
siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita,
haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan
kita. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu
bergaul dengan orang-orang yang sholeh. Orang-orang yang sholeh akan
selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat
salah. Orang-orang sholeh adalah orang-orang yang bahagia karena
nikmat iman dan nikmat Islam yang selalu terpancar pada cahaya
wajahnya. Insya Allah cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang
yang ada disekitarnya. Berbahagialah orang-orang yang selalu
dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh.
Kelima, al malul halal, atau harta yang halal.
Paradigma
dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya.
Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya. Dalam
riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu
dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdoa
sudah bagus”, kata Nabi SAW, “Namun sayang makanan, minuman dan pakaian
dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya
dikabulkan”. Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena
doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan
menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan
kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah
orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.
Keenam, Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami agama.
Semangat
memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama
Islam. Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang untuk belajar
lebih jauh lagi ilmu mengenai sifat-sifat Allah dan ciptaan-Nya. Allah
menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar
semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah
dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya.
Semangat memahami agama akan meng “hidup” kan hatinya, hati yang
“hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat
iman. Maka berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmu agama
Islam.
Ketujuh, yaitu Al Umru Al Mubaarok atau umur yang barokah.
Umur
yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang
setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi
hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi
dengan banyak bernostalgia (berangan-angan) tentang masa mudanya, iapun
cenderung kecewa dengan ketuaannya (post-power syndrome). Disamping
itu pikirannya terfokus pada bagaimana caranya menikmati sisa hidupnya,
maka iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum
ia sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati
kenikmatan yang diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya
dengan banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah)
maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang
Penciptanya. Hari tuanya diisi dengan bermesraan dengan Sang Maha
Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia ini, bahkan
ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan
berikutnya seperti yang dijanjikan Allah. Inilah semangat “hidup”
orang-orang yang baroqah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang
umurnya barokah.
Demikianlah pesan-pesan dari Ibnu Abbas ra. mengenai 7 indikator kebahagiaan dunia.
Bagaimana
caranya agar kita dikaruniakan Allah ke tujuh buah indikator
kebahagiaan dunia tersebut ? Selain usaha keras kita untuk memperbaiki
diri, maka mohonlah kepada Allah SWT dengan sesering dan se-khusyu’
mungkin membaca doa ‘sapu jagat’ , yaitu doa yang paling sering dibaca
oleh Rasulullah SAW. Dimana baris pertama doa tersebut “Rabbanaa aatina
fid dun-yaa hasanah” (yang artinya “Ya Allah karuniakanlah aku
kebahagiaan dunia “), mempunyai makna bahwa kita sedang meminta kepada
Allah ke tujuh indikator kebahagiaan dunia yang disebutkan Ibnu Abbas
ra, yaitu hati yang selalu syukur, pasangan hidup yang soleh, anak yang
soleh, teman-teman atau lingkungan yang soleh, harta yang halal,
semangat untuk memahami ajaran agama, dan umur yang baroqah.
Walaupun
kita akui sulit mendapatkan ketujuh hal itu ada di dalam genggaman
kita, setidak-tidaknya kalau kita mendapat sebagian saja sudah patut
kita syukuri.
Sedangkan mengenai
kelanjutan doa sapu jagat tersebut yaitu “wa fil aakhirati hasanaw”
(yang artinya “dan juga kebahagiaan akhirat”), untuk memperolehnya
hanyalah dengan rahmat Allah. Kebahagiaan akhirat itu bukan surga
tetapi rahmat Allah, kasih sayang Allah. Surga itu hanyalah sebagian
kecil dari rahmat Allah, kita masuk surga bukan karena amal soleh kita,
tetapi karena rahmat Allah.
Amal
soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa
dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga.
Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita
tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah.
Kata
Nabi SAW, “Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian
ke surga”. Lalu para sahabat bertanya: “Bagaimana dengan Engkau ya
Rasulullah ?”. Jawab Rasulullah SAW : “Amal soleh saya pun juga tidak
cukup”. Lalu para sahabat kembali bertanya : “Kalau begitu dengan apa
kita masuk surga?”. Nabi SAW kembali menjawab : “Kita dapat masuk surga
hanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata”.
Jadi
sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan
untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah
itulah kita mendapatkan surga Allah (Insya Allah, Amiin).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)