Santunan Anak Yatim

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang yang ditawan” (QS. Al Insan: 8)

“Aku dan orang-orang yang mengurus anak yatim di surga seperti ini. Beliau memberikan isyarat dengan kedua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari kelingking”. (HR. At Tirmidzi)


Dalam pandangan Islam kaya dan miskin mempunyai makna dan nilai yang sama, yaitu ujian. Kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh kaya atau miskinnya dia. Tetapi ditentukan sejauh mana orang yang kaya bisa mensyukuri karunia yang telah diberikan oleh Allah dan  orang miskin yang mampu bersabar dengan ujian yang diberikan oleh Allah berupa kekurangan harta.

Selain itu, Islam juga mengajarkan bahwa dalam setiap harta orang kaya, ada hak untuk fakir dan miskin  yang wajib ditunaikan. Tidak diperhatikannya hak yang harus ditunaikan ini akan menimbulkan kesenjangan yang akan memicu munculnya hal-hal yang tidak baik dalam kehidupan manusia.

Majelis Dakwah Umat Islam (MDUI) mengajak para aghniya, untuk menunaikan kewajibannya terhadap kaum dhu’afa terlebih kepada anak yatim.

Santunan Anda akan kami salurkan secara optimal kepada anak yatim berupa:
  • Santunan Pendidikan
  • Perlengkapan Sekolah
  • Perlengkapan mengaji
  • Tabungan yatim
  • dll
Sedangkan santunan untuk dhua’fa disesuaikan dengan kebutuhan yang mendesak bagi mereka

Santunan Anak Yatim

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang yang ditawan” (QS. Al Insan: 8)

“Aku dan orang-orang yang mengurus anak yatim di surga seperti ini. Beliau memberikan isyarat dengan kedua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari kelingking”. (HR. At Tirmidzi)


Dalam pandangan Islam kaya dan miskin mempunyai makna dan nilai yang sama, yaitu ujian. Kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh kaya atau miskinnya dia. Tetapi ditentukan sejauh mana orang yang kaya bisa mensyukuri karunia yang telah diberikan oleh Allah dan  orang miskin yang mampu bersabar dengan ujian yang diberikan oleh Allah berupa kekurangan harta.

Selain itu, Islam juga mengajarkan bahwa dalam setiap harta orang kaya, ada hak untuk fakir dan miskin  yang wajib ditunaikan. Tidak diperhatikannya hak yang harus ditunaikan ini akan menimbulkan kesenjangan yang akan memicu munculnya hal-hal yang tidak baik dalam kehidupan manusia.

Majelis Dakwah Umat Islam (MDUI) mengajak para aghniya, untuk menunaikan kewajibannya terhadap kaum dhu’afa terlebih kepada anak yatim.

Santunan Anda akan kami salurkan secara optimal kepada anak yatim berupa:
  • Santunan Pendidikan
  • Perlengkapan Sekolah
  • Perlengkapan mengaji
  • Tabungan yatim
  • dll
Sedangkan santunan untuk dhua’fa disesuaikan dengan kebutuhan yang mendesak bagi mereka

Santunan Anak Yatim

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang yang ditawan” (QS. Al Insan: 8)

“Aku dan orang-orang yang mengurus anak yatim di surga seperti ini. Beliau memberikan isyarat dengan kedua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari kelingking”. (HR. At Tirmidzi)


Dalam pandangan Islam kaya dan miskin mempunyai makna dan nilai yang sama, yaitu ujian. Kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh kaya atau miskinnya dia. Tetapi ditentukan sejauh mana orang yang kaya bisa mensyukuri karunia yang telah diberikan oleh Allah dan  orang miskin yang mampu bersabar dengan ujian yang diberikan oleh Allah berupa kekurangan harta.

Selain itu, Islam juga mengajarkan bahwa dalam setiap harta orang kaya, ada hak untuk fakir dan miskin  yang wajib ditunaikan. Tidak diperhatikannya hak yang harus ditunaikan ini akan menimbulkan kesenjangan yang akan memicu munculnya hal-hal yang tidak baik dalam kehidupan manusia.

Majelis Dakwah Umat Islam (MDUI) mengajak para aghniya, untuk menunaikan kewajibannya terhadap kaum dhu’afa terlebih kepada anak yatim.

Santunan Anda akan kami salurkan secara optimal kepada anak yatim berupa:
  • Santunan Pendidikan
  • Perlengkapan Sekolah
  • Perlengkapan mengaji
  • Tabungan yatim
  • dll
Sedangkan santunan untuk dhua’fa disesuaikan dengan kebutuhan yang mendesak bagi mereka

Pengertia Syahadah dalam Rukyatul Hilal

Kesaksian siapa yang bisa digunakan dalam rukyatul hilal? Adakah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para saksi. Ada baiknya kita mengetahui semua ini dalam kelanjutan postingan tentang rukyatul hilal.


Soal : Apa pengertian syahadah (kesaksian) menurut para ulama’?
Jawab :
Syahādah  adalah mashdar dari kata syahida yang seakar kata dengan syuhud.[1] Secara bahasa, syahādah  bermakna : informasi (i’lam) dan hadir (khuḍūr). Di dalam kitab Mu’jam li alfāẓ al-fiqh dimaknai dengan kabar yang pasti.[2]
Menurut istilah, syahādah  adalah informasi yang diberikan oleh orang yang jujur untuk mendapatkan satu hak dengan menggunakan kata bersaksi atau menyaksikan (asy-syahādah ) di depan majelis hakim dalam persidangan.[3]
Adapun pengertian dari Syahādah  menurut pandangan para ulama’ empat madzhab adalah sebagai berikut :
Menurut ulama’ Hanafiyah, “Informasi yang diberikan oleh orang yang jujur untuk menetapkan suatu hak dengan lafadz syahādah di dalam majelis persidangan.”[4]
Ulama’ madzhab Malikiyah, “Informasi yang diberikan oleh orang yang adil kepada hakim sesuai dengan yang diketahui meskipun dalam perkara umum untuk menentukan keputusan hukum.”
Ulama’ madzhab Syafi’iyah, “Menginformasikan sesuatu dengan ucapan khusus.”
Ulama’ madzhab Hanabilah, “Menginformasikan sesuatu yang diketahui (di depan hakim) dengan lafadz ‘asyhadu’ atau ‘syahidtu’.”[5]


[1] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya : Pustaka Progressif, 1997 M), p. 746
[2]DR Mahmud Abdur Rahman Abdul Mun’im, Mu’jam al-Muṣtolakhāt wa al-alfāẓ al-fiqhiyah, (Kairo : Dār al-Faḍīlah, 1419 H / 1999 M) p. 2/344
[3] DR. Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islāmy wa Adillatuhu, ( Damaskus: Darul Fikr, Cet 2 : 1405 H/1985 M), p. 6/556
[4] Wazāratu al-auqāf wa asy-syu’ūn al-Islāmiyah,  Al-Mausū’ah al-Fiqhiyah, (Kuwait : Dzat as-Salāsil, Cet: 2 1404 H / 1983) p. 26/216
[5] DR Mahmud Abdur Rahman Abdul Mun’im, Mu’jam al-Muṣtolakhāt wa al-alfāẓ al-fiqhiyah, (Kairo : Dār al-Faḍīlah, 1419 H / 1999 M) p. 2/344-345

Antara Ikhtilaful Matholi' dan Wihdatul Mathla'

Persoalan yang muncul ketika rukyatul hilal sudah ditetapkan adalah mana yang lebih dipilih ikhtilaful matholi' ataukah wihdatul mathla'? Inilah penjelasannya


Soal : Kenapa lebih memilih ikhtilaful matholi' daripada wihdatul mathla'? Padahal jumhur lebih merojihkan wihdatul mathla'?.
Jawab :
Perkara wihdatul matla’ dan ikhtilaful matholi’ masuk kepada ranah ijtihad. Sehingga, jika ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala : pahala ijtihad dan pahala kebenaran dalam melakukan amalan. Adapun jika ijtihadnya salah, maka mendapatkan satu pahala : pahala ijtihad.
Dalam hal ini, para ulama’ memang berbeda pendapat. Sebagian menerima penggunaan ikhtilaful matholi’ dan sebagian lagi tidak menerimanya. Adapun hujjah-hujjah yang digunakan keduanya sama. Seperti “yas’alūnaka ‘anil ahillah…”, juga hadits, “shūmu liru’yatihi…”. Hanyasanya mereka berselisih didalam mengambil istimbat dari ayat dan hadits tersebut. Karena lafalnya bersifat mustarok: memiliki dua makna atau lebih.
Syaikh Abdul Aziz bin Bazz selaku ketua hai’ah kibaril ulama’ menerangkan, selama kurun waktu 14 abad tidak diketahui adanya sikap penyatuan ummat berkaitan dengan ru’yatul hilāl. Dan beliau menambahkan, setiap negara memiliki hak untuk menentukan cara yang akan digunakan dalam penentuan hilāl dengan wasilah para ulama’nya. Dikarenakan keduanya memiliki dalil dan sandaran.[1]
Jika yang dimaksudkan dengan wihdatul matla’ itu adalah seluruh negara di bumi, maka itu perkara yang amat sulit. Karena perbedaan waktu yang ada di bilangan timur dan barat amat nyata. Sehingga yang dianjurkan adalah kesamaan dalam satu wilayah yang memiliki kesamaan waktu. Semisal wilayah yang masih satu wilayah negara.[2]
*****

Soal : Bolehkah ikut berpuasa/berhari raya bersama muhammadiyah yg menggunakan hisab padahal ru'yah tidak berbarengan?
Jawab :
Berdasarkan firman Allah
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Barangsiapa di antara kalian yang melihat hilāl bulan (Ramadhan) maka berpuasalah”.
Dan juga sabda Rasulullah:
 صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilāl dan ber’Idul Fithrilah berdasarkan ru`yatul hilāl “.
Maka Allah mengaitkan puasa bulan Ramadhan dan ‘Idul Fithri dengan cara ru`yatul hilāl, dan Allah tidak mengaitkannya dengan mengetahui bulan Ramadhan berdasarkan Hisab Astronomi (ilmu falak). Padahal Allah Ta’ala Maha Tahu bahwa para ahli falak akan mencapai kemajuan dalam ilmu hisab astronomi mereka dan ketepatan dalam menentukan peredaran bintang-bintang.
 Maka wajib atas kaum muslimin untuk kembali kepada syari’at yang Allah tetapkan atas mereka melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu dalam urusan berpuasa dan berbuka tetap berpegang pada cara ru`yatul hilāl, karena yang demikan itu telah menjadi ijma’ ahlul ilmi. Barangsiapa menyelisihi yang demikian itu dan meyakini kebenaran Hisab Astronomi (falak), maka pendapatnya syadz dan tidak bisa dipercaya.”[3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, bahwasanya menerima pendapat ahlul hisab dalam perkara penentuan awal bulan Ramadhan, Syawwal, penentuan ibadah haji dan lainnya yang masih berkaitan dengan hilāl, maka hal itu tidak diperbolehkan.[4]


[1] Fatawa lajnah dāimah lil buhūts al Ilmiyah wa lil ifta’, Dārul Ashoshoh, cet : 1, 1416 H, p : 10/103
[2] Abdul Aziz Khotob, Asrār aṣ-ṣiyām fi al-Qur’an al-Karīm, (Ghozzah : Matba’ah al-Majah., 1401 H) p.   32
[3] Fatawa lajnah dāimah lil buhūts al Ilmiyah wa lil ifta’, Dārul Ashoshoh, cet : 1, 1416 H, p : 10/107
[4] Majmu’ fatawa syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyah, cetakan tahun : 1418H, p ; 25/132

Dalil-dalil yang mengharuskan memakai Rukyatul Hilal dalam penentuan Awal Ramadhan dan Syawwal

Postingan serial Rukyatul Hilal 1433 H kali ini akan membahas tentang keharusan menggunakan rukyatul hilal dalam menentukan awal Ramadhan dan Syawwal.

Soal : Kenapa dalam penentuah awal bulan Ramadhan dan Syawwal kita harus menggunakan ru'yah bukan hisab? Apa Dalilnya?
Jawab :
Terdapat berbagai dalil yang jelas dan tegas dari berbagai hadis Rasulullah tentang penggunaan ru’yat dalam menentukan awal puasa maupun hari raya, sebagaimana yang diyakini dan dipahami oleh jumhur (kebanyakan ulama). Ke-empat mahzab yang ada semuanya juga sepakat untuk tidak memakai hisab (perhitungan) dalam penetapan bulan Ramadhan atau Syawwal.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilāl) dan berbuka (tidak berpuasa) karena melihatnya pula. Dan jika awan (mendung) menutupi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Syaâban menjadi tiga puluh hari.”[1]
إِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا
"Jika kalian telah melihat hilāl, maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya kembali, maka berpuasalah. Namun, bila bulan itu tertutup dari pandangan kalian (karena awan), maka berpuasalah sebanyak tiga puluh hari."[2]
لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
"Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilāl dan jangan pula berbukan hingga melihatnya (terbit) kebali. Namun, jika bulan itu tertutup dari pandanganmu, makan hitunglah."[3]
Penentuan masuknya bulan Ramadhan dan Syawwal adalah dengan ru’yah hilāl, atau bisa juga dengan kesaksian orang yang telah menyaksikan hilāl Ramadhan atau Syawwal dan dia telah memiliki ahliyah dalam memberikan kesaksian, atau bisa juga dengan wasilah yang lain  berdasarkan ilmu yaqini atau gholabatidz dzon seperti setelah lengkapnya bulan Sya’ban selama 30 hari untuk penetapan bulan Ramadhan, atau lengkapnya bulan Ramadhan selama 30 hari untuk penentuan bulan Syawwal.[4]
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “…Al-Mazari mengatakan, Jumhur Fuqaha telah mengarahkan sabda Nabi r : ‘perkirakanlah untuknya’ kepada makna bahwa yang dimaksudkan adalah dengan menyempurnakan hitungan bulan menjadi 30 hari.”[5]
Di dalam buku Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhuts al-’ilmiyah wal ifta’, lebaga fatwa yang diketuai oleh syaikh Abdul Aziz bin Baz, memberikan jawaban berkaitan dengan hal di atas dalam Fatwa nomor 2036 sebagai berikut :
“Bahwa patokan dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan berakhirnya adalah berdasarkan ru`yatul hilāl. Karena syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad r bersifat universal, baku/paten, dan terus berlaku sampai hari kiamat.
 Juga bahwasanya Allah Ta’ala Maha Tahu apa yang telah terjadi dan juga Maha Tahu apa yang akan terjadi, termasuk adanya kemajuan ilmu falak dan ilmu-ilmu lainnya (seiring berjalannya waktu). Walaupun demikian halnya Allah telah berfirman :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Barangsiapa di antara kalian yang melihat hilāl bulan (Ramadhan) maka berpuasalah”.
Dan Rasulullah telah menjelaskannya pula dengan sabda beliau :
 صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilāl dan ber’Idul Fithrilah berdasarkan ru`yatul hilāl “.
Maka Allah mengaitkan puasa bulan Ramadhan dan ‘Idul Fithri dengan cara ru`yatul hilāl, dan Allah tidak mengaitkannya dengan mengetahui bulan Ramadhan berdasarkan Hisab Astronomi (ilmu falak). Padahal Allah Ta’ala Maha Tahu bahwa para ahli falak akan mencapai kemajuan dalam ilmu hisab astronomi mereka dan ketepatan dalam menentukan peredaran bintang-bintang.
 Maka wajib atas kaum muslimin untuk kembali kepada syari’at yang Allah tetapkan atas mereka melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu dalam urusan berpuasa dan berbuka tetap berpegang pada cara ru`yatul hilāl, karena yang demikan itu telah menjadi ijma’ ahlul ilmi. Barangsiapa menyelisihi yang demikian itu dan meyakini kebenaran Hisab Astronomi (falak), maka pendapatnya syadz dan tidak bisa dipercaya.”[6]


[1] HR al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122)
[2] HR. Bukhari, kitab : Ṣiyām, bab : qaulu an-Nabī, “Idha raiatum al-hilāl faṣūmū…”, no : 1863 ; dan Muslim, kitab : Ṣiyām, bab : wujūbu Ṣaumi Ramaḍān liru’yati al-hilāl…, no : 1080
[3] HR Muslim, kitab : Ṣiyām, bab : wujūbu Ṣaumi Ramaḍān liru’yati al-hilāl…, no : 1080
[4] Ash-Shiyamu wa Ramadhan fi as-Sunnah wa al-Qur’an, Abdur Rahman Khabannakah al-Maidani. Damsyiq, Darul Qolam. cet : 1, 1407 H/ 1987 M. Hal : 85. Akhkam ash-Shiyam wa Falsafatuhu Fi Dhou’i al-Qur’an wa as-Sunnah, DR Mushtofa as-Siba’i. Damsyiq, al-Maktab al-Islamy. Cet : 3, 1397 H. hal : 23. Akhadits ash-Shiyam Ahkam wa Adab, Abdullah bin Sholih al-Fauzan. Riyadh, Darul Muslim cet : 4 1422 H/ 2001 M. hal : 9
[5] Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi : 7/189
[6] Fatawa lajnah dāimah lil buhūts al Ilmiyah wa lil ifta’, Dārul Ashoshoh, cet : 1, 1416 H, p : 10/107

Rukyatul Hilal (BAG. 3)

Pada postingan terdahulu telah dibahas tentang ketentuan jumlah khusus yang ditetapkan dalam kesaksian rukyatul hilal. Pembicaraan rukyatul hilal akan kita lanjutkan

Soal : Jika ada seseorang yang melihat hilāl ramadhan namun di belahan bumi yang lain tidak  melihatnya, apakah lantas menjadikan seluruh kaum Muslimin yang ada di belahan lain juga harus melaksanakah shiyam?
Jawab :
Dalam kasus ru’yatul hilāl, tidak disyaratkan untuk melaksanakan shoum secara bersama-sama dalam satu waktu. Karena perbedaan waktu yang ada di bilangan timur dan barat. Yang dianjurkan adalah kesamaan dalam satu wilayah yang memiliki kesamaan waktu. Semisal wilayah yang masih satu wilayah negara.[1] Untuk hitungan suatu negara pun tidak disyaratkan harus melihat hilāl dari semua wilayah. Jika sudah ada sebagian wilayah yang melihat hilāl, maka itu sudah mencukupi untuk seluruh wilayah bagian sebagai pertanda masuknya bulan Ramadhan, Syawwal maupun bulan qamariyah lainnya. Untuk menetapkan bulan Ramadhan, cukup dengan ru’yat satu atau dua orang yang adil yang ada di negara itu, dan untuk menetapkan bulan Syawwal minimal dengan dua orang adil. Sebagaimana Rasulullah r menetapkan awal shoum Ramadhan dengan kesaksian satu orang yang menyatakan melihat hilāl di perjalanan.[2] Dan memutuskan untuk berbuka puasa ketika datang kesaksian hilāl Syawwal dari serombongan kafilah.
عَنْ أَبِي عُمَيْرِ بْنِ أَنَسٍ حَدَّثَنِي عُمُومَةٌ لِي مِنَ الْأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ r قَالَ : غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ r أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ r أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ
“Dari Abu Umair bin Anas, telah menceritakan kepadaku kebanyakan para sahabat Anshar dari sahabat Rasulullah r bahwa ia berkata; "Hilāl bulan Syawal telah tertutup awan, maka kami pun berpuasa, lalu serombongan pengendara di akhir siang datang sambil bersaksi dihadapan Rasulullah r bahwa kemarin mereka telah menyaksikan hilāl, kemudian Rasulullah r menyuruh orang-orang berbuka di hari itu, dan agar di esok hari mereka keluar untuk berhari raya."[3]


[1] Abdul Aziz Khotob, Asrār aṣ-ṣiyām fi al-Qur’an al-Karīm, (Ghozzah : Matba’ah al-Majah., 1401 H) p.   32
[2] Syaikh Hasan Muhammad al-Masyad, Is’af ahlu al-Imān bi Waẓā’ifi Syahri Ramaḍān, (Tanpa menebutkan Penerbit dan Tempat terbit. Cet : 4, 1392 H/ 1972 M), p.  26
[3] HR Ahmad, kitab : Musnad al-Baṣriyyīn, bab : ḥadits rijāl min al-anṣār raḍiyallahu ‘anhum, no: 21126

Rukyatul Hilal (Bag. 2)

Pada postingan terdahulu sudah dibahas hal-hal yang berkaitan dengan pengertian rukyatul hilal dan hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana kriteria hilal bisa dilihat manusia. Postingan berikut masih merupakan kelanjutan postingan berkaitan dengan rukyatul hilal.


Soal : Adakah jumlah khusus yang ditetapkan dalam memberikan kesaksian ru’yatul hilāl?
Jawab :
Dalam ru’yatul hilāl, para ulama’ berbeda pendapat dalam penetapan saksi yang melihat hilāl. Perbedaan ini terbagi kepada tiga macam pendapat : ru’yat dari sekelompok orang yang menyatakan melihat hilāl secara kolektif, ru’yatnya dua orang yang adil dan ada yang mencukupkan dengan ru’yatnya satu orang yang adil.[1]
Ulama’ madzhab Hanafi membedakan jumlah saksi berdasarkan keadaan cuaca. Jika cuaca cerah, maka jumlah saksi yang menyatakan melihat hilāl Ramadhan atau Syawwal harus banyak.  Selain itu harus adanya lafadz “asyhadu” dalam menyampaikan kesaksian hilāl. Adapun bila langit mendung, maka seorang imam dapat menetapkan awal bulan cukup dengan kesaksian yang diberikan oleh satu orang yang adil yang menyatakan melihat hilāl. Baik itu laki-laki maupun wanita, merdeka maupun budak. Untuk kasus yang kedua ini, menurut ulama’ madzhab Hanafi tidak disyaratkan untuk menggunakan lafadz “asyhadu”. Kesaksian ini diberikan di depan qāḍi jika memang orang tersebut merupakan penduduk kota, dan cukup disampaikan kepada masyarakat di masjid jika ia merupakan penduduk desa.[2]
Madzhab Maliki membedakan jumlah saksi yang memberikan kesaksian melihat hilāl berdasarkan status keadilan seseorang. Kalau yang melihat banyak sehingga masuk ke jumlah mutawatir yang mana kemungkinan untuk berdusta tidak ada, maka untuk golongan ini tidak disyaratkan harus orang yang adil. Namun jika tidak sampai pada jumlah mutatawir, maka kesaksian mereka tidak diterima. Adapun kesaksian dua orang yang adil yang bersaksi melihat hilāl, maka sudah cukup untuk menetukan waktu shoum Ramadhan atau iedul fitri sebagai tanda waktu selesainya shoum. Dalam keadaan mendung, menurut madzhab Maliki kesaksian satu orang yang adil tidak bisa diterima sebagai penentu awal Ramadhan maupun Syawwal.[3]
Sementara ulama’ madzhab syafi’i menyatakan bahwa kesaksian satu orang yang adil sudah mencukupi untuk diterima untuk menetapkan waktu masuknya bulan Ramadhan, Syawwal maupun bulan-bulan lainnya. Tidak peduli, apakah keadaan langit cerah maupun mendung. Selama ia orang yang adil, muslim, baligh, berakal, merdeka, laki-laki dan ketika bersaksi menggunakan lafadz “asyhadu”.[4] Madzhab beliau berhujah dengan kejadian yang terjadi pada zaman Rasulullah r. Di mana Ibnu Umar melihat hilāl seorang diri, kemudian beliau memberitahukan kejadian itu kepada Rasulullah r. Kemudian Rasulullah memutuskan untuk shoum dan beliau memerintahkan kepada masyarakat untuk melaksanakan shoum.[5] Diterimanya kesaksian dua orang yang adil, lantas tidak secara otomatis menafikan diterimanya kesaksian satu orang yang adil.[6]
Menurut Hanabilah, jika Imam menerima kesaksian satu orang yang adil, maka wajib bagi masyarakat untuk shoum. Namun bila  kesaksiannya melihat hilāl Ramadhan ditolak, maka berdasarkan keumuman hadits, “Shūmū li ru’yatihi” dia harus melaksanakan shoum sendirian. Baik tertolaknya kesaksian itu lantaran kefasikan maupun sebab yang lain. Adapun jika kesaksian melihat hilāl Syawwalnya yang tertolak lantaran ia menyaksikannya seorang diri, maka ia tidak boleh membatalkan shoumnya melainkan bersama dengan masyarakat umumnya. Karena penetapan awal bulan Syawwal tidak dibolehkan kecuali melalui dua orang saksi yang adil. [7]
Bersambung...

[1] DR. Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islāmy wa Adillatuhu, ( Damaskus: Darul Fikr, Cet 2 : 1405 H/1985 M), p. 2/598
[2] DR. Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islāmy wa Adillatuhu, ( Damaskus: Darul Fikr, Cet 2 : 1405 H/1985 M), p. 2/598-599
[3] DR. Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islāmy wa Adillatuhu, ( Damaskus: Darul Fikr, Cet 2 : 1405 H/1985 M), p. 2/600
[4] Imam Syafi’i berhujah dengan perkataan Ali ketika beliau menerima kesaksian satu orang yang adil seraya mengatakan, “Sungguh shoum satu hari di bulan sya’ban lebih aku cintai daripada aku berbuka sehari pada bulan Ramadhan.” Lihat : Imam Ahmad bin Hajar al-Haitsami al-Makki (909-995 H), Ittiḥāf ahlu al-Islām bi ḥuṣūṣiyati aṣ-ṣiyām, Tahqiq : Mushtofa Abdul Qodir ‘Atho, (Madinah : Maktabah Thoyyibah, Cet : 1, 1410 H / 1990 M), p. 95
[5] HR Abu Dawud dan dishohihkan oleh Ibnu Hibban.
[6] Imam Ahmad bin Hajar al-Haitsami al-Makki (909-995 H), Ittiḥāf ahlu al-Islām bi ḥuṣūṣiyati aṣ-ṣiyām, Tahqiq : Mushtofa Abdul Qodir ‘Atho, (Madinah : Maktabah Thoyyibah, Cet : 1, 1410 H / 1990 M), p. 101
[7] DR. Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islāmy wa Adillatuhu, ( Damaskus: Darul Fikr, Cet 2 : 1405 H/1985 M), p. 2/602

Tanya Jawab Seputar Rukyat Hilal

Puasa sudah di ambang pintu. Tamu agung itu segera datang. Rukyatul hilal menjadi sesuatu yang dinantikan. Tetapi banyak dari umat islam yang belum paham tentang rukyatul hilal. Padahal rukyatul hilal merupakan sandaran syar'i untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Sebenarnya apa dan bagaimana rukyatul hilal itu? Postingan-postingan berikut akan membahas tuntas tentang rukyatul hilal. Pembahasan ini dikemas dengan model tanya jawab agar lebih menarik dan tidak membosankan. Nara sumber pembahasan ini adalah Ustadz Yahya al-Hafidz dan Mukhlisien Adz-Dzaky. Mari kita simak pembahasan berkenaan rukyatul hilal:

Soal : Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan ru’yatul hilāl itu?
Jawab :
Ru’yatul hilāl merupakan gabungan dua kata dari bahasa arab: ru’yat dan hilāl. Ru’yat secara bahasa adalah melihat dengan mata.[1] Hakikat ru’yat jika disandarkan kepada a’yan semisal yang termaktub dalam hadits-hadits ru’yatul hilāl, maka menggunakan mata. Ru’yat kadang berarti melihat dengan mata, namun juga bisa dengan ilmu. Pembedanya adalah maf’ul yang tercipta dari keduanya. Kalau ru’yat yang bermakna melihat dengan mata hanya membutuhkan satu maf’ul. Adapun yang berarti ilmu, itu membutuhkan dua maf’ul.[2]
Hilāl juga berasal dari bahasa Arab yang memiliki beberapa makna. Yang pertama ia bermakna bulan sabit   (crescent) yang pertama terlihat setelah terjadinya " ijtimak ", dan ini terjadi di awal bulan. Biasanya tanggal satu, dua dan ada yang mengatakan tiga bulan-bulan qamariyah. Ada juga yang memaknai hilāl dengan bulan yang terlihat di akhir semisal tanggal 26 dan 27 bulan qamariyah, karena secara ukuran sama dengan yang terjadi di awal bulan. Namun yang paling sering dimunculkan, adalah makna yang pertama.[3]
Maka yang disebut ru’yatul hilāl adalah kegiatan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan pengamatan secara visual menggunakan mata  terhadap  munculnya  hilāl yang dilaksanakan setelah terbenamnya matahari pada hari ke 29 dari bulan qamariyah.[4]
*****

So’al : Lantas bagaimana kriteria hilāl (bulan baru) itu bisa dilihat oleh manusia?
Jawab :
Mekanisme ru’yatul hilāl dilakukan dengan cara melihat hilāl namun ru’yat itu atas dasar perhitungan terlebih dahulu. Jadi, yang dilihat itu atas dasar  perhitungan. Sehingga tidak hanya
Soal : Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan ru’yatul hilāl itu?
Jawab :
Ru’yatul hilāl merupakan gabungan dua kata dari bahasa arab: ru’yat dan hilāl. Ru’yat secara bahasa adalah melihat dengan mata.[1] Hakikat ru’yat jika disandarkan kepada a’yan semisal yang termaktub dalam hadits-hadits ru’yatul hilāl, maka menggunakan mata. Ru’yat kadang berarti melihat dengan mata, namun juga bisa dengan ilmu. Pembedanya adalah maf’ul yang tercipta dari keduanya. Kalau ru’yat yang bermakna melihat dengan mata hanya membutuhkan satu maf’ul. Adapun yang berarti ilmu, itu membutuhkan dua maf’ul.[2]
Hilāl juga berasal dari bahasa Arab yang memiliki beberapa makna. Yang pertama ia bermakna bulan sabit   (crescent) yang pertama terlihat setelah terjadinya " ijtimak ", dan ini terjadi di awal bulan. Biasanya tanggal satu, dua dan ada yang mengatakan tiga bulan-bulan qamariyah. Ada juga yang memaknai hilāl dengan bulan yang terlihat di akhir semisal tanggal 26 dan 27 bulan qamariyah, karena secara ukuran sama dengan yang terjadi di awal bulan. Namun yang paling sering dimunculkan, adalah makna yang pertama.[3]
Maka yang disebut ru’yatul hilāl adalah kegiatan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan pengamatan secara visual menggunakan mata  terhadap  munculnya  hilāl yang dilaksanakan setelah terbenamnya matahari pada hari ke 29 dari bulan qamariyah.[4]
*****

So’al : Lantas bagaimana kriteria hilāl (bulan baru) itu bisa dilihat oleh manusia?
Jawab :
Mekanisme ru’yatul hilāl dilakukan dengan cara melihat hilāl namun ru’yat itu atas dasar perhitungan terlebih dahulu. Jadi, yang dilihat itu atas dasar  perhitungan. Sehingga tidak hanya sekedar memperlihatkan wajah ke arah barat ketika matahari tenggelam. Namun sudah memiliki patokan terlebih dahulu, baik menyangkut ketinggian hilāl maupun posisinya di atas ufuk atau horison.[5]
Imkanur Ru’yat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), menyatakan kesepakatan bahwa hilāl dianggap terlihat  dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
1)     Ketika Matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas horison tidak kurang dari 2° dan
2)     Jarak lengkung Bulan-Matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3°. Atau
3)     Ketika Bulan terbenam, umur Bulan tidak kurang dari 8 jam selepas konjungsi/ijtimak berlaku.
Seorang berkebangsaan Prancis, A. Danjon, pada tahun 1932 mengadakan telaah atas pengurangan efek tanduk bulan sabit dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jarak sudut bulan-matahari sebesar 7 derajat merupakan batas bawah hilāl dapat teramati oleh mata telanjang.[6]
Teori Visibilitas hilāl terbaru telah dibangun oleh para astronom dalam proyek pengamatan hilāl global yang dikenal sebagai Islamic Crescent Observation Project (ICOP) berpusat di Yordania berdasar pada sekitar 700 lebih data observasi hilāl yang dianggap valid. Teori ini menyatakan bahwa hilāl hanya mungkin bisa diru’yat jika jarak sudut Bulan dan Matahari minimal 6,4°, sebelumnya 7° yang dikenal sebagai "Limit Danjon". Kurva visibilitas hilāl sebagai hasil perhitungan teori tersebut mengindikasikan bahwa untuk wilayah sekitar Katulistiwa (Indonesia) hilāl baru mungkin dapat diru’yat menggunakan mata telanjang minimal pada ketinggian di atas 6°. Di bawah itu hingga ketinggian di atas 4° diperlukan alat bantu penglihatan seperti teleskop dan sejenisnya.[7]
Kriteria visibilitas hilāl lainnya yang memiliki dasar-dasar ilmiah yang kokoh adalah yang ditetapkan oleh IICP (International Islamic Calendar Programme). Kriteria tersebut terbagi atas tiga bergantung pada segi yang diperhitungkan, yaitu pertama, kriteria posisi bulan dan matahari; batas-bawah tinggi hilāl agar hilāl dapat diamati adalah 4 derajat dengan syarat beda azimut bulan-matahari lebih besar dari 45 derajat, sedangkan bila beda azimutnya 0 derajat diperlukan ketinggian minimal 10,5 derajat. Kedua, kriteria beda waktu terbenam; hilāl dapat teramati bila waktu terbenamnya minimal lebih lambat 40 menit dari waktu terbenamnya matahari. Untuk daerah di
Soal : Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan ru’yatul hilāl itu?
Jawab :
Ru’yatul hilāl merupakan gabungan dua kata dari bahasa arab: ru’yat dan hilāl. Ru’yat secara bahasa adalah melihat dengan mata.[1] Hakikat ru’yat jika disandarkan kepada a’yan semisal yang termaktub dalam hadits-hadits ru’yatul hilāl, maka menggunakan mata. Ru’yat kadang berarti melihat dengan mata, namun juga bisa dengan ilmu. Pembedanya adalah maf’ul yang tercipta dari keduanya. Kalau ru’yat yang bermakna melihat dengan mata hanya membutuhkan satu maf’ul. Adapun yang berarti ilmu, itu membutuhkan dua maf’ul.[2]
Hilāl juga berasal dari bahasa Arab yang memiliki beberapa makna. Yang pertama ia bermakna bulan sabit   (crescent) yang pertama terlihat setelah terjadinya " ijtimak ", dan ini terjadi di awal bulan. Biasanya tanggal satu, dua dan ada yang mengatakan tiga bulan-bulan qamariyah. Ada juga yang memaknai hilāl dengan bulan yang terlihat di akhir semisal tanggal 26 dan 27 bulan qamariyah, karena secara ukuran sama dengan yang terjadi di awal bulan. Namun yang paling sering dimunculkan, adalah makna yang pertama.[3]
Maka yang disebut ru’yatul hilāl adalah kegiatan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan pengamatan secara visual menggunakan mata  terhadap  munculnya  hilāl yang dilaksanakan setelah terbenamnya matahari pada hari ke 29 dari bulan qamariyah.[4]
*****

So’al : Lantas bagaimana kriteria hilāl (bulan baru) itu bisa dilihat oleh manusia?
Jawab :
Mekanisme ru’yatul hilāl dilakukan dengan cara melihat hilāl namun ru’yat itu atas dasar perhitungan terlebih dahulu. Jadi, yang dilihat itu atas dasar  perhitungan. Sehingga tidak hanya sekedar memperlihatkan wajah ke arah barat ketika matahari tenggelam. Namun sudah memiliki patokan terlebih dahulu, baik menyangkut ketinggian hilāl maupun posisinya di atas ufuk atau horison.[5]
Imkanur Ru’yat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), menyatakan kesepakatan bahwa hilāl dianggap terlihat  dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
1)     Ketika Matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas horison tidak kurang dari 2° dan
2)     Jarak lengkung Bulan-Matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3°. Atau
3)     Ketika Bulan terbenam, umur Bulan tidak kurang dari 8 jam selepas konjungsi/ijtimak berlaku.
Seorang berkebangsaan Prancis, A. Danjon, pada tahun 1932 mengadakan telaah atas pengurangan efek tanduk bulan sabit dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jarak sudut bulan-matahari sebesar 7 derajat merupakan batas bawah hilāl dapat teramati oleh mata telanjang.[6]
Teori Visibilitas hilāl terbaru telah dibangun oleh para astronom dalam proyek pengamatan hilāl global yang dikenal sebagai Islamic Crescent Observation Project (ICOP) berpusat di Yordania berdasar pada sekitar 700 lebih data observasi hilāl yang dianggap valid. Teori ini menyatakan bahwa hilāl hanya mungkin bisa diru’yat jika jarak sudut Bulan dan Matahari minimal 6,4°, sebelumnya 7° yang dikenal sebagai "Limit Danjon". Kurva visibilitas hilāl sebagai hasil perhitungan teori tersebut mengindikasikan bahwa untuk wilayah sekitar Katulistiwa (Indonesia) hilāl baru mungkin dapat diru’yat menggunakan mata telanjang minimal pada ketinggian di atas 6°. Di bawah itu hingga ketinggian di atas 4° diperlukan alat bantu penglihatan seperti teleskop dan sejenisnya.[7]
Kriteria visibilitas hilāl lainnya yang memiliki dasar-dasar ilmiah yang kokoh adalah yang ditetapkan oleh IICP (International Islamic Calendar Programme). Kriteria tersebut terbagi atas tiga bergantung pada segi yang diperhitungkan, yaitu pertama, kriteria posisi bulan dan matahari; batas-bawah tinggi hilāl agar hilāl dapat diamati adalah 4 derajat dengan syarat beda azimut bulan-matahari lebih besar dari 45 derajat, sedangkan bila beda azimutnya 0 derajat diperlukan ketinggian minimal 10,5 derajat. Kedua, kriteria beda waktu terbenam; hilāl dapat teramati bila waktu terbenamnya minimal lebih lambat 40 menit dari waktu terbenamnya matahari. Untuk daerah di lintang tinggi, terutama di musim dingin, diperlukan beda waktu yang lebih besar. Ketiga, kriteria umur bulan dihitung sejak konjungsi; hilāl dapat diamati bila berumur lebih dari 16 jam untuk pengamat di daerah tropis dan berumur lebih dari 20 jam untuk pengamat di lintang tinggi.[8]
Bersambung........

[1] Jumhuriyah Mishr al-‘Arobiyah, Al-Mu’jam al-Wasith, ( Mesir : Maktabah Asy-Syuruq ad-Dauliyah, Cet :4, 1425 H/ 2004 M), p.  320
[2] DR Mahmud Abdur Rahman Abdul Mun’im, Mu’jam al-Muṣtolakhāt wa al-alfāẓ al-fiqhiyah, (Kairo : Dār al-Faḍīlah, 1419 H / 1999 M) p.  2/104
[3] DR Mahmud Abdur Rahman Abdul Mun’im, Mu’jam al-Muṣtolakhāt wa al-alfāẓ al-fiqhiyah, (Kairo : Dār al-Faḍīlah, 1419 H / 1999 M) p.  2/104
[4] DR Mahmud Abdur Rahman Abdul Mun’im, Mu’jam al-Muṣtolakhāt wa al-alfāẓ al-fiqhiyah, (Kairo : Dār al-Faḍīlah, 1419 H / 1999 M) p.  2/104
[5] DR. Susiknan Azhari, Hisab dan ru’yat : wacana untuk membangun kebersamaan di tengah perbedaan, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet : 1, 2007 M), p. 86
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_ru’yat
[8] http://media.isnet.org/iptek/Etc/HilalTampak.html


 
Avatar Gamezine Designed by Cheapest Tablet PC
Supported by Phones 4u