Tanya Jawab Seputar Rukyat Hilal

Puasa sudah di ambang pintu. Tamu agung itu segera datang. Rukyatul hilal menjadi sesuatu yang dinantikan. Tetapi banyak dari umat islam yang belum paham tentang rukyatul hilal. Padahal rukyatul hilal merupakan sandaran syar'i untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Sebenarnya apa dan bagaimana rukyatul hilal itu? Postingan-postingan berikut akan membahas tuntas tentang rukyatul hilal. Pembahasan ini dikemas dengan model tanya jawab agar lebih menarik dan tidak membosankan. Nara sumber pembahasan ini adalah Ustadz Yahya al-Hafidz dan Mukhlisien Adz-Dzaky. Mari kita simak pembahasan berkenaan rukyatul hilal:

Soal : Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan ru’yatul hilāl itu?
Jawab :
Ru’yatul hilāl merupakan gabungan dua kata dari bahasa arab: ru’yat dan hilāl. Ru’yat secara bahasa adalah melihat dengan mata.[1] Hakikat ru’yat jika disandarkan kepada a’yan semisal yang termaktub dalam hadits-hadits ru’yatul hilāl, maka menggunakan mata. Ru’yat kadang berarti melihat dengan mata, namun juga bisa dengan ilmu. Pembedanya adalah maf’ul yang tercipta dari keduanya. Kalau ru’yat yang bermakna melihat dengan mata hanya membutuhkan satu maf’ul. Adapun yang berarti ilmu, itu membutuhkan dua maf’ul.[2]
Hilāl juga berasal dari bahasa Arab yang memiliki beberapa makna. Yang pertama ia bermakna bulan sabit   (crescent) yang pertama terlihat setelah terjadinya " ijtimak ", dan ini terjadi di awal bulan. Biasanya tanggal satu, dua dan ada yang mengatakan tiga bulan-bulan qamariyah. Ada juga yang memaknai hilāl dengan bulan yang terlihat di akhir semisal tanggal 26 dan 27 bulan qamariyah, karena secara ukuran sama dengan yang terjadi di awal bulan. Namun yang paling sering dimunculkan, adalah makna yang pertama.[3]
Maka yang disebut ru’yatul hilāl adalah kegiatan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan pengamatan secara visual menggunakan mata  terhadap  munculnya  hilāl yang dilaksanakan setelah terbenamnya matahari pada hari ke 29 dari bulan qamariyah.[4]
*****

So’al : Lantas bagaimana kriteria hilāl (bulan baru) itu bisa dilihat oleh manusia?
Jawab :
Mekanisme ru’yatul hilāl dilakukan dengan cara melihat hilāl namun ru’yat itu atas dasar perhitungan terlebih dahulu. Jadi, yang dilihat itu atas dasar  perhitungan. Sehingga tidak hanya
Soal : Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan ru’yatul hilāl itu?
Jawab :
Ru’yatul hilāl merupakan gabungan dua kata dari bahasa arab: ru’yat dan hilāl. Ru’yat secara bahasa adalah melihat dengan mata.[1] Hakikat ru’yat jika disandarkan kepada a’yan semisal yang termaktub dalam hadits-hadits ru’yatul hilāl, maka menggunakan mata. Ru’yat kadang berarti melihat dengan mata, namun juga bisa dengan ilmu. Pembedanya adalah maf’ul yang tercipta dari keduanya. Kalau ru’yat yang bermakna melihat dengan mata hanya membutuhkan satu maf’ul. Adapun yang berarti ilmu, itu membutuhkan dua maf’ul.[2]
Hilāl juga berasal dari bahasa Arab yang memiliki beberapa makna. Yang pertama ia bermakna bulan sabit   (crescent) yang pertama terlihat setelah terjadinya " ijtimak ", dan ini terjadi di awal bulan. Biasanya tanggal satu, dua dan ada yang mengatakan tiga bulan-bulan qamariyah. Ada juga yang memaknai hilāl dengan bulan yang terlihat di akhir semisal tanggal 26 dan 27 bulan qamariyah, karena secara ukuran sama dengan yang terjadi di awal bulan. Namun yang paling sering dimunculkan, adalah makna yang pertama.[3]
Maka yang disebut ru’yatul hilāl adalah kegiatan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan pengamatan secara visual menggunakan mata  terhadap  munculnya  hilāl yang dilaksanakan setelah terbenamnya matahari pada hari ke 29 dari bulan qamariyah.[4]
*****

So’al : Lantas bagaimana kriteria hilāl (bulan baru) itu bisa dilihat oleh manusia?
Jawab :
Mekanisme ru’yatul hilāl dilakukan dengan cara melihat hilāl namun ru’yat itu atas dasar perhitungan terlebih dahulu. Jadi, yang dilihat itu atas dasar  perhitungan. Sehingga tidak hanya sekedar memperlihatkan wajah ke arah barat ketika matahari tenggelam. Namun sudah memiliki patokan terlebih dahulu, baik menyangkut ketinggian hilāl maupun posisinya di atas ufuk atau horison.[5]
Imkanur Ru’yat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), menyatakan kesepakatan bahwa hilāl dianggap terlihat  dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
1)     Ketika Matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas horison tidak kurang dari 2° dan
2)     Jarak lengkung Bulan-Matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3°. Atau
3)     Ketika Bulan terbenam, umur Bulan tidak kurang dari 8 jam selepas konjungsi/ijtimak berlaku.
Seorang berkebangsaan Prancis, A. Danjon, pada tahun 1932 mengadakan telaah atas pengurangan efek tanduk bulan sabit dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jarak sudut bulan-matahari sebesar 7 derajat merupakan batas bawah hilāl dapat teramati oleh mata telanjang.[6]
Teori Visibilitas hilāl terbaru telah dibangun oleh para astronom dalam proyek pengamatan hilāl global yang dikenal sebagai Islamic Crescent Observation Project (ICOP) berpusat di Yordania berdasar pada sekitar 700 lebih data observasi hilāl yang dianggap valid. Teori ini menyatakan bahwa hilāl hanya mungkin bisa diru’yat jika jarak sudut Bulan dan Matahari minimal 6,4°, sebelumnya 7° yang dikenal sebagai "Limit Danjon". Kurva visibilitas hilāl sebagai hasil perhitungan teori tersebut mengindikasikan bahwa untuk wilayah sekitar Katulistiwa (Indonesia) hilāl baru mungkin dapat diru’yat menggunakan mata telanjang minimal pada ketinggian di atas 6°. Di bawah itu hingga ketinggian di atas 4° diperlukan alat bantu penglihatan seperti teleskop dan sejenisnya.[7]
Kriteria visibilitas hilāl lainnya yang memiliki dasar-dasar ilmiah yang kokoh adalah yang ditetapkan oleh IICP (International Islamic Calendar Programme). Kriteria tersebut terbagi atas tiga bergantung pada segi yang diperhitungkan, yaitu pertama, kriteria posisi bulan dan matahari; batas-bawah tinggi hilāl agar hilāl dapat diamati adalah 4 derajat dengan syarat beda azimut bulan-matahari lebih besar dari 45 derajat, sedangkan bila beda azimutnya 0 derajat diperlukan ketinggian minimal 10,5 derajat. Kedua, kriteria beda waktu terbenam; hilāl dapat teramati bila waktu terbenamnya minimal lebih lambat 40 menit dari waktu terbenamnya matahari. Untuk daerah di
Soal : Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan ru’yatul hilāl itu?
Jawab :
Ru’yatul hilāl merupakan gabungan dua kata dari bahasa arab: ru’yat dan hilāl. Ru’yat secara bahasa adalah melihat dengan mata.[1] Hakikat ru’yat jika disandarkan kepada a’yan semisal yang termaktub dalam hadits-hadits ru’yatul hilāl, maka menggunakan mata. Ru’yat kadang berarti melihat dengan mata, namun juga bisa dengan ilmu. Pembedanya adalah maf’ul yang tercipta dari keduanya. Kalau ru’yat yang bermakna melihat dengan mata hanya membutuhkan satu maf’ul. Adapun yang berarti ilmu, itu membutuhkan dua maf’ul.[2]
Hilāl juga berasal dari bahasa Arab yang memiliki beberapa makna. Yang pertama ia bermakna bulan sabit   (crescent) yang pertama terlihat setelah terjadinya " ijtimak ", dan ini terjadi di awal bulan. Biasanya tanggal satu, dua dan ada yang mengatakan tiga bulan-bulan qamariyah. Ada juga yang memaknai hilāl dengan bulan yang terlihat di akhir semisal tanggal 26 dan 27 bulan qamariyah, karena secara ukuran sama dengan yang terjadi di awal bulan. Namun yang paling sering dimunculkan, adalah makna yang pertama.[3]
Maka yang disebut ru’yatul hilāl adalah kegiatan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan pengamatan secara visual menggunakan mata  terhadap  munculnya  hilāl yang dilaksanakan setelah terbenamnya matahari pada hari ke 29 dari bulan qamariyah.[4]
*****

So’al : Lantas bagaimana kriteria hilāl (bulan baru) itu bisa dilihat oleh manusia?
Jawab :
Mekanisme ru’yatul hilāl dilakukan dengan cara melihat hilāl namun ru’yat itu atas dasar perhitungan terlebih dahulu. Jadi, yang dilihat itu atas dasar  perhitungan. Sehingga tidak hanya sekedar memperlihatkan wajah ke arah barat ketika matahari tenggelam. Namun sudah memiliki patokan terlebih dahulu, baik menyangkut ketinggian hilāl maupun posisinya di atas ufuk atau horison.[5]
Imkanur Ru’yat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), menyatakan kesepakatan bahwa hilāl dianggap terlihat  dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
1)     Ketika Matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas horison tidak kurang dari 2° dan
2)     Jarak lengkung Bulan-Matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3°. Atau
3)     Ketika Bulan terbenam, umur Bulan tidak kurang dari 8 jam selepas konjungsi/ijtimak berlaku.
Seorang berkebangsaan Prancis, A. Danjon, pada tahun 1932 mengadakan telaah atas pengurangan efek tanduk bulan sabit dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jarak sudut bulan-matahari sebesar 7 derajat merupakan batas bawah hilāl dapat teramati oleh mata telanjang.[6]
Teori Visibilitas hilāl terbaru telah dibangun oleh para astronom dalam proyek pengamatan hilāl global yang dikenal sebagai Islamic Crescent Observation Project (ICOP) berpusat di Yordania berdasar pada sekitar 700 lebih data observasi hilāl yang dianggap valid. Teori ini menyatakan bahwa hilāl hanya mungkin bisa diru’yat jika jarak sudut Bulan dan Matahari minimal 6,4°, sebelumnya 7° yang dikenal sebagai "Limit Danjon". Kurva visibilitas hilāl sebagai hasil perhitungan teori tersebut mengindikasikan bahwa untuk wilayah sekitar Katulistiwa (Indonesia) hilāl baru mungkin dapat diru’yat menggunakan mata telanjang minimal pada ketinggian di atas 6°. Di bawah itu hingga ketinggian di atas 4° diperlukan alat bantu penglihatan seperti teleskop dan sejenisnya.[7]
Kriteria visibilitas hilāl lainnya yang memiliki dasar-dasar ilmiah yang kokoh adalah yang ditetapkan oleh IICP (International Islamic Calendar Programme). Kriteria tersebut terbagi atas tiga bergantung pada segi yang diperhitungkan, yaitu pertama, kriteria posisi bulan dan matahari; batas-bawah tinggi hilāl agar hilāl dapat diamati adalah 4 derajat dengan syarat beda azimut bulan-matahari lebih besar dari 45 derajat, sedangkan bila beda azimutnya 0 derajat diperlukan ketinggian minimal 10,5 derajat. Kedua, kriteria beda waktu terbenam; hilāl dapat teramati bila waktu terbenamnya minimal lebih lambat 40 menit dari waktu terbenamnya matahari. Untuk daerah di lintang tinggi, terutama di musim dingin, diperlukan beda waktu yang lebih besar. Ketiga, kriteria umur bulan dihitung sejak konjungsi; hilāl dapat diamati bila berumur lebih dari 16 jam untuk pengamat di daerah tropis dan berumur lebih dari 20 jam untuk pengamat di lintang tinggi.[8]
Bersambung........

[1] Jumhuriyah Mishr al-‘Arobiyah, Al-Mu’jam al-Wasith, ( Mesir : Maktabah Asy-Syuruq ad-Dauliyah, Cet :4, 1425 H/ 2004 M), p.  320
[2] DR Mahmud Abdur Rahman Abdul Mun’im, Mu’jam al-Muṣtolakhāt wa al-alfāẓ al-fiqhiyah, (Kairo : Dār al-Faḍīlah, 1419 H / 1999 M) p.  2/104
[3] DR Mahmud Abdur Rahman Abdul Mun’im, Mu’jam al-Muṣtolakhāt wa al-alfāẓ al-fiqhiyah, (Kairo : Dār al-Faḍīlah, 1419 H / 1999 M) p.  2/104
[4] DR Mahmud Abdur Rahman Abdul Mun’im, Mu’jam al-Muṣtolakhāt wa al-alfāẓ al-fiqhiyah, (Kairo : Dār al-Faḍīlah, 1419 H / 1999 M) p.  2/104
[5] DR. Susiknan Azhari, Hisab dan ru’yat : wacana untuk membangun kebersamaan di tengah perbedaan, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet : 1, 2007 M), p. 86
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_ru’yat
[8] http://media.isnet.org/iptek/Etc/HilalTampak.html


 
Avatar Gamezine Designed by Cheapest Tablet PC
Supported by Phones 4u