Rukyatul Hilal (Bag. 2)

Pada postingan terdahulu sudah dibahas hal-hal yang berkaitan dengan pengertian rukyatul hilal dan hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana kriteria hilal bisa dilihat manusia. Postingan berikut masih merupakan kelanjutan postingan berkaitan dengan rukyatul hilal.


Soal : Adakah jumlah khusus yang ditetapkan dalam memberikan kesaksian ru’yatul hilāl?
Jawab :
Dalam ru’yatul hilāl, para ulama’ berbeda pendapat dalam penetapan saksi yang melihat hilāl. Perbedaan ini terbagi kepada tiga macam pendapat : ru’yat dari sekelompok orang yang menyatakan melihat hilāl secara kolektif, ru’yatnya dua orang yang adil dan ada yang mencukupkan dengan ru’yatnya satu orang yang adil.[1]
Ulama’ madzhab Hanafi membedakan jumlah saksi berdasarkan keadaan cuaca. Jika cuaca cerah, maka jumlah saksi yang menyatakan melihat hilāl Ramadhan atau Syawwal harus banyak.  Selain itu harus adanya lafadz “asyhadu” dalam menyampaikan kesaksian hilāl. Adapun bila langit mendung, maka seorang imam dapat menetapkan awal bulan cukup dengan kesaksian yang diberikan oleh satu orang yang adil yang menyatakan melihat hilāl. Baik itu laki-laki maupun wanita, merdeka maupun budak. Untuk kasus yang kedua ini, menurut ulama’ madzhab Hanafi tidak disyaratkan untuk menggunakan lafadz “asyhadu”. Kesaksian ini diberikan di depan qāḍi jika memang orang tersebut merupakan penduduk kota, dan cukup disampaikan kepada masyarakat di masjid jika ia merupakan penduduk desa.[2]
Madzhab Maliki membedakan jumlah saksi yang memberikan kesaksian melihat hilāl berdasarkan status keadilan seseorang. Kalau yang melihat banyak sehingga masuk ke jumlah mutawatir yang mana kemungkinan untuk berdusta tidak ada, maka untuk golongan ini tidak disyaratkan harus orang yang adil. Namun jika tidak sampai pada jumlah mutatawir, maka kesaksian mereka tidak diterima. Adapun kesaksian dua orang yang adil yang bersaksi melihat hilāl, maka sudah cukup untuk menetukan waktu shoum Ramadhan atau iedul fitri sebagai tanda waktu selesainya shoum. Dalam keadaan mendung, menurut madzhab Maliki kesaksian satu orang yang adil tidak bisa diterima sebagai penentu awal Ramadhan maupun Syawwal.[3]
Sementara ulama’ madzhab syafi’i menyatakan bahwa kesaksian satu orang yang adil sudah mencukupi untuk diterima untuk menetapkan waktu masuknya bulan Ramadhan, Syawwal maupun bulan-bulan lainnya. Tidak peduli, apakah keadaan langit cerah maupun mendung. Selama ia orang yang adil, muslim, baligh, berakal, merdeka, laki-laki dan ketika bersaksi menggunakan lafadz “asyhadu”.[4] Madzhab beliau berhujah dengan kejadian yang terjadi pada zaman Rasulullah r. Di mana Ibnu Umar melihat hilāl seorang diri, kemudian beliau memberitahukan kejadian itu kepada Rasulullah r. Kemudian Rasulullah memutuskan untuk shoum dan beliau memerintahkan kepada masyarakat untuk melaksanakan shoum.[5] Diterimanya kesaksian dua orang yang adil, lantas tidak secara otomatis menafikan diterimanya kesaksian satu orang yang adil.[6]
Menurut Hanabilah, jika Imam menerima kesaksian satu orang yang adil, maka wajib bagi masyarakat untuk shoum. Namun bila  kesaksiannya melihat hilāl Ramadhan ditolak, maka berdasarkan keumuman hadits, “Shūmū li ru’yatihi” dia harus melaksanakan shoum sendirian. Baik tertolaknya kesaksian itu lantaran kefasikan maupun sebab yang lain. Adapun jika kesaksian melihat hilāl Syawwalnya yang tertolak lantaran ia menyaksikannya seorang diri, maka ia tidak boleh membatalkan shoumnya melainkan bersama dengan masyarakat umumnya. Karena penetapan awal bulan Syawwal tidak dibolehkan kecuali melalui dua orang saksi yang adil. [7]
Bersambung...

[1] DR. Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islāmy wa Adillatuhu, ( Damaskus: Darul Fikr, Cet 2 : 1405 H/1985 M), p. 2/598
[2] DR. Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islāmy wa Adillatuhu, ( Damaskus: Darul Fikr, Cet 2 : 1405 H/1985 M), p. 2/598-599
[3] DR. Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islāmy wa Adillatuhu, ( Damaskus: Darul Fikr, Cet 2 : 1405 H/1985 M), p. 2/600
[4] Imam Syafi’i berhujah dengan perkataan Ali ketika beliau menerima kesaksian satu orang yang adil seraya mengatakan, “Sungguh shoum satu hari di bulan sya’ban lebih aku cintai daripada aku berbuka sehari pada bulan Ramadhan.” Lihat : Imam Ahmad bin Hajar al-Haitsami al-Makki (909-995 H), Ittiḥāf ahlu al-Islām bi ḥuṣūṣiyati aṣ-ṣiyām, Tahqiq : Mushtofa Abdul Qodir ‘Atho, (Madinah : Maktabah Thoyyibah, Cet : 1, 1410 H / 1990 M), p. 95
[5] HR Abu Dawud dan dishohihkan oleh Ibnu Hibban.
[6] Imam Ahmad bin Hajar al-Haitsami al-Makki (909-995 H), Ittiḥāf ahlu al-Islām bi ḥuṣūṣiyati aṣ-ṣiyām, Tahqiq : Mushtofa Abdul Qodir ‘Atho, (Madinah : Maktabah Thoyyibah, Cet : 1, 1410 H / 1990 M), p. 101
[7] DR. Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islāmy wa Adillatuhu, ( Damaskus: Darul Fikr, Cet 2 : 1405 H/1985 M), p. 2/602

 
Avatar Gamezine Designed by Cheapest Tablet PC
Supported by Phones 4u